Jumat, 13 November 2009

Khutbah Idul Adha 1429 H: Membangun Kembali Semangat Berqurban (Dr. Attabiq Luthfi, MA)

Allahu Akbar- ALLahu Akbar- Allahu Akbar – WaliLlahil Hamd.

Jama’ah Idul Adha yang senantiasa mengharapkan ridha Allah swt.

Alhamdulillah, tentu merupakan satu kenikmatan dan kebahagiaan yang tiada terhingga bahwa pada hari ini kita merayakan hari raya Idul Adha, hari raya terbesar bagi umat Islam yang bersifat internasional, setelah dua bulan sebelumnya kita merayakan hari raya Idul Fithri. Pada hari ini sekitar tiga juta umat Islam dari beragam suku, bangsa dan ras serta dari berbagai tingkat sosial dan penjuru dunia berkumpul dan berbaur di kota suci Makkah Al-Mukarramah untuk memenuhi panggilan Allah menunaikan ibadah haji: “Dan serulah manusia untuk menunaikan ibadah haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh“. (Al-Hajj: 27)

Hari raya Idul Adha juga merupakan hari raya istimewa karena dua ibadah agung dilaksanakan pada hari raya ini yang jatuh di penghujung tahun hijriyah, yaitu ibadah haji dan ibadah qurban. Kedua-duanya disebut oleh Al-Qur’an sebagai salah satu dari syi’ar-syi’ar Allah swt yang harus dihormati dan diagungkan oleh hamba-hambaNya. Bahkan mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah merupakan pertanda dan bukti akan ketaqwaan seseorang seperti yang ditegaskan dalam firmanNya: “Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati”. (Al-Hajj: 33) Atau menjadi jaminan akan kebaikan seseorang di mata Allah seperti yang diungkapkan secara korelatif pada ayat sebelumnya, “Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya”. (Al-Hajj: 30)

Kedua ibadah agung ini yaitu ibadah haji dan ibadah qurban tentu hanya mampu dilaksanakan dengan baik oleh mereka yang memiliki kedekatan dengan Allah yang merupakan makna ketiga dari hari raya ini: “Qurban” yang berasal dari kata “qaruba – qaribun” yang berarti dekat. Jika posisi seseorang jauh dari Allah, maka dia akan mengatakan lebih baik bersenang-senang keliling dunia dengan hartanya daripada pergi ke Mekah menjalankan ibadah haji. Namun bagi hamba Allah yang memiliki kedekatan dengan Rabbnya dia akan mengatakan “Labbaik Allahumma Labbaik” – lebih baik aku memenuhi seruanMu ya Allah…Demikian juga dengan ibadah qurban. Seseorang yang jauh dari Allah tentu akan berat mengeluarkan hartanya untuk tujuan ini. Namun mereka yang posisinya dekat dengan Allah akan sangat mudah untuk mengorbankan segala yang dimilikinya semata-mata memenuhi perintah Allah swt.

Mencapai posisi dekat “Al-Qurban/Al-Qurbah” dengan Allah tentu bukan merupakan bawaan sejak lahir. Melainkan sebagai hasil dari latihan (baca: mujahadah) dalam menjalankan apa saja yang diperintahkan Allah. Karena seringkali terjadi benturan antara keinginan diri (hawa nafsu) dengan keinginan Allah (ibadah). Disinilah akan nyata keberpihakan seseorang apakah kepada Allah atau kepada selainNya. Sehingga pertanyaan dalam bentuk “muhasabah: evaluasi diri ” dalam konteks ini adalah: “mampukan kita mengorbankan keinginan dan kesenangan kita karena kita sudah berpihak kepada Allah?…Sekali lagi, ibadah haji dan ibadah qurban merupakan gerbang mencapai kedekatan kita dengan Allah swt.

Allahu Akbar-Allahu Akbar-Allahu Akbar WaliLLahil Hamd

Icon manusia yang begitu dekat dengan Allah yang karenanya diberi gelar KhaliluLlah (kekasih Allah) adalah Ibrahim. Sosok Ibrahim dengan kedekatan dan kepatuhannya secara paripurna kepada Allah tampil sekaligus dalam dua ibadah di hari raya Idul Adha, yaitu ibadah haji dan ibadah qurban. Dalam ibadah haji, peran nabi Ibrahim tidak bisa dilepaskan. Tercatat bahwa syariat ibadah ini sesungguhnya berawal dari panggilan nabi Ibrahim yang diperintahkan oleh Allah swt dalam firmanNya: “Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di Baitullah (dengan mengatakan): “Janganlah kamu mempersekutukan sesuatupun dengan Aku dan sucikanlah rumahKu ini bagi orang-orang yang thawaf, orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku’ serta sujud. Dan kemudian serulah manusia untuk menunaikan ibadah haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh“. (Al-Hajj: 26-27).

Ibadah ini harus diawali dengan kesiapan seseorang untuk menanggalkan seluruh atribut dan tampilan luar yang mencerminkan kedudukan dan status sosialnya dengan hanya mengenakan dua helai kain ‘ihram’ yang mencerminkan sikap tawaddu’ dan kesamaan antar seluruh manusia. Dengan pakaian sederhana ini, seseorang akan lebih mudah mengenal Allah karena dia sudah mengenal dirinya sendiri melalui ibadah wuquf di Arafah. Dengan penuh kekhusyu’an dan ketundukkan seseorang akan larut dalam dzikir, munajat dan taqarrub kepada Allah sehingga ia akan lebih siap menjalankan seluruh perintahNya setelah itu. Dalam proses bimbingan spritual yang cukup panjang ini seseorang akan diuji pada hari berikutnya dengan melontar jumrah sebagai simbol perlawanan terhadap syetan dan terhadap setiap yang menghalangi kedekatan dengan Rabbnya. Kemudian segala aktifitas kehidupannya akan diarahkan untuk Allah, menuju Allah dan bersama Allah dalam ibadah thawaf keliling satu titik fokus yang bernama ka’bah. Titik kesatuan ini penting untuk mengingatkan arah dan tujuan hidup manusia: “katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan seru sekalian alam”. (Al-An’am: 162)Akhirnya dengan modal keyakinan ini, seseorang akan giat berusaha dan berikhtiar untuk mencapai segala cita-cita dalam naungan ridha Allah swt dalam bentuk sa’I antara bukit shafa dan bukit marwah. Demikian ibadah haji sarat dengan pelajaran yang kembali ditampilkan oleh Ibrahim dan keluarganya.

Ma’asyiral muslimin rahimakumuLlah.

Dalam ibadah qurban, kembali Nabi Ibrahim tampil sebagai manusia pertama yang mendapat ujian pengorbanan dari Allah swt. Ia harus menunjukkan ketaatannya yang totalitas dengan menyembelih putra kesayangannya yang dinanti kelahirannya sekian lama. “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (Ash-Shaffat: 102). Begitulah biasanya manusia akan diuji dengan apa yang paling ia cintai dalam hidupnya.

Jama’ah Shalat Idul Adha RahimakumuLlah.

Andaikan Ibrahim manusia yang dha’if, tentu akan sulit untuk menentukan pilihan. Salah satu diantara dua yang memiliki keterikatan besar dalam hidupnya; Allah atau Isma’il. Berdasarkan rasio normal, boleh jadi Ibrahim akan lebih memilih Ismail dengan menyelamatkannya dan tanpa menghiraukan perintah Allah tersebut. Namun ternyata Ibrahim adalah sosok hamba pilihan Allah yang siap memenuhi segala perintahNya, dalam bentuk apapun. Ia tidak ingin cintanya kepada Allah memudar karena lebih mencintai putranya. Akhirnya ia memilih Allah dan mengorbankan Isma’il yang akhirnya menjadi syariat ibadah qurban bagi umat nabi Muhammad saw.

Dr. Ali Syariati dalam bukunya “Al-Hajj” mengatakan bahwa Isma’il adalah sekedar simbol. Simbol dari segala yang kita miliki dan cintai dalam hidup ini. Kalau Isma’ilnya nabi Ibrahim adalah putranya sendiri, lantas siapa Isma’il kita? Bisa jadi diri kita sendiri, keluarga kita, anak dan istri kita, harta, pangkat dan jabatan kita. Yang jelas seluruh yang kita miliki bisa menjadi Isma’il kita yang karenanya akan diuji dengan itu. Kecintaan kepada Isma’il itulah yang kerap membuat iman kita goyah atau lemah untuk mendengar dan melaksanakan perintah Allah. Kecintaan kepada Isma’il yang berlebihan juga akan membuat kita menjadi egois, mementingkan diri sendiri, dan serakah tidak mengenal batas kemanusiaan. Allah mengingatkan kenyataan ini dalam firmanNya: “Katakanlah: jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik“. (At-Taubah: 24)

Karena itu, dengan melihat keteladanan berqurban yang telah ditunjukkan oleh seorang Ibrahim, apapun Isma’il kita, apapun yang kita cintai, qurbankanlah manakala Allah menghendaki. Janganlah kecintaan terhadap isma’il-isma’il itu membuat kita lupa kepada Allah. Tentu, negeri ini sangat membutuhkan hadirnya sosok Ibrahim yang siap berbuat untuk kemaslahatan orang banyak meskipun harus mengorbankan apa yang dicintainya.

Hadirin Jama’ah Shalat Idul Adha yang berbahagia.

Keta’atan yang tidak kalah teguhnya dalam menjalankan perintah Allah adalah keta’atan Isma’il untuk memenuhi tugas bapaknya. Pertanyaan besarnya adalah: kenapa Isma’il, seorang anak yang masih belia rela menyerahkan jiwanya?. Bagaimanakan Isma’il memiliki kepatuhan yang begitu tinggi?. Nabi Ibrahim senantiasa berdoa: “Tuhanku, anugerahkan kepadaku anak yang shalih (Ash-Shaffat: 100). Maka Allah mengkabukan doanya: “Kami beri kabar gembira kepada Ibrahim bahwa kelak dia akan mendapatkan ghulamun halim”. (Ash-Shaffat: 101). Inilah rahasia kepatuhan Isma’il yang tidak lepas dari peran serta orang tuanya dalam proses bimbingan dan pendidikan. Sosok ghulamun halim dalam arti seorang yang santun, yang memiliki kemampuan untuk mensinergikan antara rasio dengan akal budi tidak mungkin hadir begitu saja tanpa melalui proses pembinaan yang panjang. Sehingga dengan tegar Isma’il berkata kepada ayahandanya dengan satu kalimat yang indah: : “Wahai ayah, laksanakanlah apa yang diperintahkan Allah, niscaya ayah akan mendapatiku seorang yang tabah hati, insya Allah”. (Ash-Shaffat: 102)

Orang tua mana yang tak terharu dengan jawaban seorang anak yang ringan menjalankan perintah Allah yang dibebankan kepada pundak ayahandanya. Ayah mana yang tidak terharu melihat sosok anaknya yang begitu lembut hati dan perilakunya. Disinilah peri pentingnya pendidikan keagamaan bagi seorang anak semenjak mereka masih kecil lagi, jangan menunggu ketika mereka remaja apalagi dewasa. Sungguh keteladanan Ibrahim bisa dibaca dari bagaimana ia mendidik anaknya sehingga menjadi seorang yang berpredikat ‘ghulamun halim’.

Allahu Akbar-Allahu Akbar-Allahu Akbar WaliLlahil Hamd

Setelah mencermati dua pelajaran kehidupan keberagamaan yang sangat berharga di atas, Prof. Dr. Mushthafa Siba’i pernah mengajukan pertanyaan menarik yang menggugah hati: “Akankah seorang muslim di hari raya ini menjadi sosok egois yang mencintai dirinya sendiri dan mementingkan kepentingan dirinya sendiri di atas kepentingan orang lain? Ataukah ia akan menjadi pribadi yang mementingkan orang lain di bandingkan dirinya, lalu mendahulukan kepentingan orang lain atas kepentingan dirinya tersebut?

Memang secara fithrah, manusia cenderung bersikap egois dan mementingkan diri sendiri. Ia melihat kepentingan orang lain melalui kepentingan dirinya. Namun demikian, disamping itu semua, manusia pada dasarnya adalah makhluk zoon politicon, yang cenderung untuk saling bekerjasama, memilih untuk bermasyarakat dibandingkan menyendiri, dan pada gilirannya akan mendorong dirinya untuk merelakan sebagian haknya untuk orang lain, sehingga dari kerjasama tersebut ia dapat mengambil manfaat berupa perwujudan kehormatan dan kepentingannya. Oleh karena itu, beberapa macam pengorbanan dan pendahuluan kepentingan orang lain, menjadi bagian dari keharusan dalam bangunan masyarakat yang tanpa keberadaannya, masyarakat tidak akan dapat hidup dengan bahagia.

Dalam hal ini, tentu kita sepakat bahwa kita sangat berhutang budi dalam setiap kenikmatan hidup material maupun non-material terhadap orang-orang yang telah berkorban dan mendahulukan kepentingan orang lain. Kita berhutang budi dalam bidang kelezatan ilmu pengetahuan kepada para pengarang, seperti sastrawan, ulama, muhadditsin, mufassirin dan filosof yang dengan tekun menghabiskan usia mereka untuk menulis dan memenuhi lembaran-lembaran kertas dengan hikmah dan ilmu pengetahuan. Sementara orang lain sedang nyenyak tidur atau sedang sibuk dengan syahwat mereka. Ungkapan Az Zamakhsyari berikut ini menggambarkan apa yang mereka lakukan untuk ilmu pengetahuan: “Aku begadang untuk mempelajari dan meneliti ilmu pengetahuan, lebih ni`mat bagiku dibandingkan bersenda gurau dan bersenang-senang dengan wanita yang cantik Aku bergerak kesana kemari untuk memecahkan satu masalah ilmu pengetahuan lebih enak dan lebih menarik seleraku dibandingkan hidangan yang lezat”.

Hadirin wal Hadirat RahimakumuLlah.

Kita juga sadar bahwa kita berhutang budi dalam memanfaatkan negeri ini kepada orang tua generasi pendahulu, para perintis dan mereka yang telah berjasa untuk itu. Kita juga berhutang budi dalam masalah aqidah dan agama yang kita banggakan ini, kepada generasi salaf saleh yang menanggung bermacam kesulitan dan derita dalam mempertahankan risalah ini pada masa pertamanya, dan yang telah mengorbankan harta dan jiwa mereka menghadapi musuh-musuh Islam untuk menyampaikan agama ini kepada orang-orang setelah mereka, mereka pula yang telah menghilangkan banyak rintangan yang disebarkan oleh para pencela, pengingkar dan pendusta agama ini.

Demikian sungguh pelajaran yang sangat berharga. Kita selaku generasi masa kini telah berhutang budi kepada generasi-genersai sebelumnya dalam seluruh apa yang kita ni`mati saat ini sebagai hasil dari pengorbanan, perjuangan dan sikap mereka yang mendahulukan kepentingan orang lain. Maka sepatutnyalah jika kita melanjutkan rangkaian pengorbanan mereka itu sehingga kita dapat menyampaikan keni`matan ini kepada generasi berikutnya seperti yang telah dilakukan oleh generasi sebelum kita. Akankah generasi kita saat ini mampu menghargai makna pengorbanan dan mendahulukan kepentingan orang lain? Apakah generasi kita mampu mempertahankan akhlak luhur seperti ini yang memang telah diperintahkan oleh Allah swt?. “Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al Hasyr: 9)

Disini hari raya Idul Adha kembali hadir untuk mengingatkan kita akan ketinggian nilai ibadah haji dan ibadah qurban yang sarat dengan pelajaran kesetiakawanan, ukhuwwah, pengorbanan dan mendahulukan kepentingan dan kemaslahatan orang lain. Semoga akan lahir keluarga-keluarga Ibrahim berikutnya dari bumi tercinta Indonesia ini yang layak dijadikan contoh teladan dalam setiap kebaikan untuk seluruh umat.

0 komentar:

Translate

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified