Indonesia dicatat dalam Buku Rekor Dunia Guinness Edisi Tahun 2008 sebagai penghancur hutan tercepat. Dalam buku rekor dunia yang akan diluncurkan pada bulan September 2008 tersebut mencatat bahwa Indonesia telah menghancurkan luas hutan yang setara dengan 300 lapangan sepakbola setiap jamnya.Guinness, sebagai otoritas global pemecahan rekor, telah memberikan konfirmasi pada Greenpeace mengenai rekor Indonesia ini. Hapsoro, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara, mengungkapkan bahwa, kawasan hutan seluas Taman Monas di Jakarta telah dihancurkan di tiap 30 menit.
“Menyandang gelar pada buku rekor ini adalah hal yang memalukan bagi Indonesia. Sangatlah menyedihkan dan tragis bahwa di antara negara-negara dengan tutupan hutan tersisa yang masih luas, Indonesia menjadi yang tercepat dalam kehancuran hutannya,” ungkapnya.Sebanyak 72 persen dari hutan asli Indonesia telah musnah dan setengah dari yang masih ada terancam keberadaannya oleh penebangan komersil, kebakaran hutan dan pembukaan hutan untuk kebun kelapa sawit. Pencantuman rekor dalam buku Guinness akan tercatat sebagai berikut: “Dari 44 negara yang secara kolektif memiliki 90% hutan di dunia, negara yang meraih tingkat laju deforestasi tahunan tercepat di dunia adalah Indonesia, dengan 1.8 juta hektar hutan dihancurkan per tahun antara tahun 2000 hingga 2005–sebuah tingkat kehancuran hutan sebesar 2% setiap tahunnya atau 51 km2 per hari”.Rekor Indonesia sebagai penghancur hutan tercepat juga menyebabkan negara ini menjadi pencemar rumah kaca ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan Cina. Hingga sebesar 25% dari emisi gas rumah kaca disebabkan oleh pembukaan lahan hutan.
Moratorium: Seruan GreenpeaceUntuk itu, Greenpeace menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk melakukan penghentian penebangan sementara (moratorium) terhadap seluruh operasi penebangan hutan skala komersial di seluruh kawasan hutan alam di Indonesia. Hapsoro mengungkapkan bahwa moratorium adalah langkah awal untuk menghentikan laju deforestasi yang tak terkendali.Selain itu, langkah awal ini juga memberikan kesempatan kepada hutan untuk memulihkan dirinya. Moratorium juga harus digunakan untuk mengkaji ulang dan mengubah arah kebijakan terkait dengan hutan yang masih tersisa di Indonesia.Selama ini, kebijakan hanya mendorong kepentingan-kepentingan yang mendukung terjadinya kehancuran dibandingkan perlindungan. “Sektor kehutanan di Indonesia telah dan masih dirusak oleh ketidakpastian hukum, korupsi dan penjarah hutan yang semuanya masih belum berhasil dikontrol oleh pemerintah Indonesia,” jelasnya.
Tingginya permintaan dunia internasional atas produk-produk kayu dan kertas, serta komoditas lain seperti minyak sawit, juga mendorong lajunya kehancuran hutan. Hal ini, menurut Hapsoro, hanya Indonesia yang bisa melindungi hutannya dan penduduk yang hidupnya bergantung pada hutan. Namun begitu, pemerintah negara-negara Uni Eropa, Cina, Jepang dan Amerika Utara juga harus menjamin bahwa negara mereka tidak lagi menjadi tempat pencucian gelap produk-produk hasil dari kehancuran hutan di Indonesia. Bila tidak, hal memalukan yang disandang Indonesia ini juga menjadi milik mereka .(raf)